MELAKUKAN TERAPI PHOBIA DITEMPAT UMUM

Monday, 11 March 2024
Written by Admin Akademi Psikoterapi
Expertise by Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog

“Bapak dan Ibu Semuanya, semoga apa yang sudah kita pelajari hari ini dapat bermanfaat bagi kita semua”.

Belum berselang lama saya mengucapkan kata perpisahan, pimpinan perusahaan yang mengundang saya berkata “Pak, ini pak coba di Hipnoterapi Bu Yuni. Beliau punya phobia Pak”. Beliau mengenal saya sebagai psikolog yang juga bisa melakukan hipnoterapi.

Karena saya melihat para hadirin juga antusias dan waktu masih belum terlalu sore, maka saya bilang kalau saya bersedia melakukan terapi. Akan tetapi saya jadi berpikir, Bagaimana saya bisa melakukan hipnoterapi maksimal kalau tidak ada tempat yang nyaman bagi klien untuk bersandar?

Saya hampiri Ibu Yuni dan saya tanya kepada beliau. Apakah beliau bersedia untuk dibantu disembuhkan phobianya? Matanya berbinar dan mengangguk cepat.

Saya memerintahkan Bu Yuni untuk tetap berada di kursi hadirin (kebetulan ia berada dipinggir), lalu saya lakukan asesmen singkat. Saya tanya mengenai objek yang ditakuti, bagaimana simtomnya dan apa penyebabnya.

Bu Yuni ternyata mengalami phobia pada tikus. Ia sangat takut sekali bahkan dengan kartun micky mouse saja ia merasa sangat takut. Ketika saya kalibrasi dengan memberi gambar tikus, Bu Yuni langsung memalingkan muka dan teriak, lalu nafasnya menggebu-gebu.

Saya bertanya, kapan awal mula Bu Yuni takut dengan kucing dan kira-kira apa yang menyebabkannya. Bu Yuni mengatakan bahwa ia tidak ingat sama sekali namun ketika saya tanya apakah ketakutan ketakutan tersebut bermula saat ia masih kecil, ia menjawab “iya”, namun tepatnya kapan ia tidak tahu.

Ia menjawab bahwa waktu SD ia sudah takut dengan tikus. Perlu diketahui saat ini usia Bu Yuni sudah 40 tahun lebih, sehingga bisa dipastikan phobia ini ada selama puluhan tahun.

Saya meminta Bu Yuni memejamkan mata dan membayangkan melihat tikus. Sontak matanya terpejam rapat dan tangan menggam direkatkan ke pahanya. Sayapun bertanya, “bu Yuni, dari 0 sampai 10, dimana 0 adalah tidak takut sama sekali dan 10 adalah sangat takut, perasaan takut ibu ada di angka berapa?”, Bu Yuni menjawab di angka 10. Okey, berarti ketakutannya sangat besar terhadap tikus.

Bu Yuni menggambarkan bahwa tikus itu mempunyai gigi yang panjang ditengah dan memiliki cakar yang tajam. Didalam pikirannya ia membayangkan bahwa tikus sewaktu-waktu dapat melompat ke tubuh manusia dan itu membahayakan. Tahap in saya melakukan elisitasi submodalitas. Menggali pengalaman subjektif Bu Yuni terhadap tikus.

Maka terapi saya mulai…

Terapi yang saya lakukan adalah menggunakan perceptual position, yaitu dengan memainkan peran antara dirinya yang takut dengan objek yang ditakuti. Saya juga menambahkan teknik hypnosis non formal agar dapat menemukan akar masalahnya sehingga gejalanya dapat tertangani secara tuntas.

Saya meminta Bu Yuni memejamkan mata sekali lagi dan fokus pada perasaan takutnya. Setelah merasakan perasaan tersebut, saya minta ia untuk memegang bagian tubuh yang menjadi tempat perasaan tersebut. Pada hitungan ketiga, bu Yuni menempelkan tangan kanannya di dadanya.

Saya minta ia untuk fokus kepada “rasa” takut yang bersarang dibagian tubuh yang dipegang tersebut dan saya juga minta agar perasaan tersebut diperbesar menjadi 10 kali lipat.

Ini adalah teknik somatic bridge atau affect bridge. Dimana ketika kita fokuskan perhatian klien kepada perasaan tersebut, maka akan menghantarkan kesadarannya kepada akar masalah penyebab simtom tersebut muncul.

Saya mensugestikan kepada Bu Yuni “Bu Yuni, pada hitungan ketiga, maka ibu akan kembali kepada peristiwa pertama kali ketakutan ibu terhadap kucing ini terjadi, apakah ibu mengerti?”, dengan ekspresi wajah yang takut ia pun mengangguk. Saya mulai menghitung, satu…dua…tiga…

Lalu saya bertanya,

“Rasanya ada diluar ruangan atau didalam ruangan?”

“Didalam..”

“Apa yang kamu lihat?”

“Ada meja, mainan, tembok..”

“Kamu sekarang usia berapa?”

“lima…”

“Apa yang terjadi saat ini Yuni, coba ceritakan…!” (Saya memanggilnya Yuni, karena memang ia mengalami regresi atau kemunduran usia mental di usia lima tahun)

“Hiii..ada anak tikus di sepedaku….”, lalu Bu Yuni menangis…

Bu Yuni menceritakan bahwa ada tikus yang beranak di sepeda roda tiganya, dan disepeda tersebut juga sudah sangat kotor karena tikus bersarang disana.

Saat itu Bu Yuni kecil sangat takut bercampur marah dengan tikus. Ia juga menganggap jika tikus adalah hewan yang sangat menakutkan karena bisa menggigit orang yang ada didekatnya.

Selanjutnya saya minta Bu Yuni untuk berbicara kearah sepedanya, dan meluapkan kekesalannya pada si tikus.

“Tikus…kenapa kamu tega mengotori sepedaku. Kenapa kamu gigit-gigit kertas disitu. Aku kan gak bisa main. Kamu bawa anakmu disepedaku. Huhuhu…”

Bu Yuni melanjutkan menumpahkan kemarahannya kepada tikus selama 1 menit dengan menangis. Setelah itu saya sentuh pundaknya dan mengatakan padanya “rileks..santai…kamu bisa menguasai semuanya…”, Bu Yuni pun mulai lebih rileks…

Selanjutnya saya minta Bu Yuni memerankan diri sebagai tikus…

“Bu Yuni, bagus sekali anda sudah meluapkan kekesalan ibu kepada tikus, itu bagus sekali dan memang perasaan ini harus keluar ke tempatnya. Sebentar lagi saya ingin Ibu memerankan menjadi tikus, dan tikus akan masuk kekesadaran ibu. Si tikus akan berbicara dengan mulut ibu, melihat dengan mata ibu dan mendengar melalui telinga ibu..”.

Pada awalnya Bu Yuni tidak memahami “permainan” ini, namun akhirnya saya menjelaskan sekali lagi. “Sebentar lagi yang berbicara disini adalah tikus”…dia tidak berbicara didalam tubuh ibu…namun ia berbicara dari kejauhan..saya tidak tahu dia ada dimana, tapi yang jelas ibu merasa aman sekali….(saya melakukan ini karena berasumsi ia juga bisa masih begitu takutnya terhadap tikus).. saya akan menghitung. Satu…dua…tiga…”.

“Apakah tikus sudah hadir? Kalau hadir silahkan anggukan kepala”

(Bu Yuni menganggukan kepala)

“Tikus. Kamu tadi sudah dengerkan, kalau Yuni tuh takut sama kamu. Dia juga marah sama kamu. Kenapa kamu kok ngelahirin anakmu di sepedanya dia, dan kenapa kamu kok ngotorin sepedanya? Pasti kamu punya alasan kan?!”

“Aku ga ada tempat lagi. Karena aku dapetnya sepeda itu. Aku lihat sepedanya bisa jadi tempat anaku”

“Apakah kamu sayang sama anakmu?”

“Iya..”

“Jadi kamu cari tempat untuk menaruh anakmu karena kamu tidak nemu tempat lain? Apa yang kamu rasakan saat itu?”

“aku sedih, anakku dibuang.”

“Kamu sedih, anakmu dibuang?”

“Iya…(menangis)..”

“Kalau kamu bisa mencari tempat yang lain, kira-kira apakah kamu mau cari tempat lain yang lebih aman?”

“Iya….”

“Oiya, apakah kamu itu bisa meloncat ke manusia dan melukai manusia?”

“Enggak…”

“Lho kok Yuni takut kamu loncat dan melukainya?”

“Gak tahu…aku gak gitu…”

“Ya sudah..tapi kamu kan sudah mengotori sepeda Yuni. Dan dia sangat merasa tidak nyaman karena perbuatanmu. Sekarang apakah kamu mau minta maaf sama Yuni?”

“Iya…”

“Okey. Mudah-mudahan Yuni mau maafin ya. Sekarang tutup mata kamu, dan Yuni ada didepan kamu sekarang. Pada hitungan ketiga kamu langsung ngomong sama dia ya…satu..dua…tiga…”

“Yuni, aku minta maaf ya. Udah ngotorin sepeda kamu. Aku minta maaf yaa…?!” (menangis)

Saya berterimakasih kepada tikus atas kerjasamanya yang baik. Kemudian saya meminta untuk berganti dengan Bu Yuni.

“Yuni, tadi si tikus sudah meminta maaf. Dia melakukan semuanya karena ia bingung dan tidak tahu harus kemana meletakkan anak-anaknya, karena ia sayang sama anaknya”.

“Yuni, si tikus itu hanya hewan yang tidak mempunyai akal seperti kita. Ia tadi sudah meminta maaf atas kesalahannya, dan kasian lho jadi tikus itu. Ia kadang tidak tahu, kenapa ia begitu dibenci sama manusia. Diusir…dilem..di jepret…agar mati. Padahal ia cuma mau cari makan untuk anak-anaknya kan?”. Bu Yuni pun menangis kencang…namun menangisnya kali ini nampak menangis sedih, bukan takut.

Saya memang sengaja memprovokasi Bu Bu Yuni untuk memahami sudut pandang tikus, meskipun tikus jelasnya tidak mungkin memiliki kesadaran seperti manusia. Namun inilah yang terjadi dipikiran Bu Yuni, sehingga ia bisa memainkan peran sebagai tikus dan bisa memahami sudut pandang tikus.

“apakah Yuni sekarang mau memafkan tikus?”

(Bu Yuni menganggukan kepala..)

“Tikus, aku maafin kamu. Aku juga minta maaf ya kalau aku benci kamu dan berpikir kamu jahat. Kamu tidak jahat, kamu cuma mau taruh anak-anakmu. Kau cuma hewan” (menangis)…

“Lihat Bu…mungkin dekat atau dari kejauhan saya tidak tahu…yang jelas si tikus bisa mengerti kalimat ibu…dan dia bisa jadi sangat senang dan lega karena dia di maafkan…”

“Sekarang katakan kepada tikus, di arah manapun dia berada saat ini, Yuni melihat atau tidak, bukan masalah, katakan bahwa ibu menyayangi semua hewan ciptaan Tuhan, termasuk tikus. Karena tikus hanyalah hewan biasa yang juga punya keinginan untuk hidup”.

Bu Yuni mengatakan bahwa ia menyayangi tikus dan tahap ini diakhiri dengan lambaian tangan Bu Yuni kepada tikus. Bu Yuni tersenyum..dan kali ini wajahnya Nampak sangat ringan sekali…

Tahap terakhir saya minta Bu Yuni untuk melakukan desensitisasi sistematis. Yaitu mendekati objek yang ditakuti secara bertahap dari jarak yang jauh ke yang lebih dekat.

Bu Yuni saya minta untuk menghadirkan sosok tikus pada jarak 10 meter dari tempatnya berdiri. Saya “provokasi” bahwa tikus yang dilihat sangat lucu sekali. Matanya berbinar seolah minta dikasihani…

Ekpresi Bu Yuni kali ini tidak menunjukan ekpresi takut atau cemas. Ia terlihat cukup santai.

Saya memintanya melangkah satu meter ke jarak 9 meter dari tikus. Tidak ada perubahan ekspresi, tetap santai. Maju ke 8, 7, 6 sampai 1…tidak ada perubahan ekspresi dari Bu Yuni.

Saya menanyakan “apakah Bu Yuni melihatnya dengan jelas sekarang?”

“Iya Pak”

“Apa yang anda lihat?”

“ warnanya hitam, matanya melihat saya pak. Lucu pak…”

“Coba sekarang Ibu deketin dan elus bulunya dong…”

(Mengarahkan tangannya kedepan dan membuat gerakan mengelus..sambil tersenyum..)

“Lucu ya Bu….ini tikus yang lucu….ibu elus ajaa..aman kan?!lihat matanya lucuuu sekali..”

(Bu Yuni mengelus sambil tersenyum)

Sesi tersebut akhirnya diakhiri dan saya meminta ia bangun kembali dengan membuka mata.

Karena kami ingin membuktikan efektifitas terapi yang baru saja dilakukan, maka saya memberikan gambar tikus dari jarak jauh hingga dekat sekali.

Bu Yuni berkata..”ya Allah….”sambil ia menamatkan gambar tikus tersebut dari dekat dan sesekali menempelkan tangannya ke gambar tersebut…

Bagaimana cara kerja proses terapi ini?

Memang, terkadang kita perlu menggabungkan beberapa pemahaman kita tentang bagaimana suatu gejala itu tercipta. Mana yang lebih sesuai dalam konteks tertentu dapat kita gunakan. Ada beberapa tahapan yang saya lakukan, yaitu :

1. Melakukan elisitasi submodalitas.

Saya menggali pengalaman internalnya tentang tikus yang ditakutinya. Ternyata ia menceritakan baha tikus itu mempunyai gigi yang panjang ditengah dan memiliki cakar yang tajam. Didalam pikirannya ia membayangkan bahwa tikus sewaktu-waktu dapat melompat ke tubuh manusia dan itu membahayakan. Hal inilah yang membuat respon takut terhadap tikus.

2. Melakukan Perceptual Position

Bu Yuni dapat mengungkapkan segala emosi yang tersimpan selama ini tentang tikus kepada objek yang tepat (tikus), hal ini dapat menurunkan tegangan yang membuat responnya mengalami ketakutan berlebih. Selain itu Bu Yuni juga memahami bagaimana berada di posisi tikus. Bagaimana rasanya diperlakukan tidak menyenangkan oleh manusia, padahal sang tikus sedang baru saja melahirkan anak-anaknya. Adanya proses empati dan simpati semacam ini, membuat Bu Yuni memahami bahwa tikus itu adalah makhluk yang malang dan juga lemah. Dari sinilah terjadi “trance logic” yang benar atau pembelajaran logika bawah sadar.

3. Merubah Submodality objek yang ditakuti

Gambaran yang menyeramkan tentang tikus, perlahan saya sugestikan bahwa tikus itu tidak berbahaya dan bahkan lucu. Adanya perluasan peta berpikir mengenai tikus.

4. Melakukan Desensitisasi Systematis

Desensitisasi dilakukan untuk menghilangkan sensitifitas seseorang terhadap objek yang ditakuti. Ketakutan akan semakin meningkat ketika seseorang semakin menghindari objek yang ditakutinya. Oleh karenanya, salah satu teknik menghilangkan ketakutan seseorang adalah dengan menghadapkan pada objek yang ditakutinya secara bertahap. Oleh karena sudah dilakukan “pelepasan” emosi dan terjadi pembelajaran ulang di tahapan sebelumnya, maka proses desensitisasi menjadi lebih mudah.



Regard,
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog

Artikel Terkait

Selalu ada artikel menarik di Akademi Psikoterapi untuk anda