Monday, 11 March 2024
Written by Admin Akademi Psikoterapi
Expertise by Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog
Jika tubuh kita luka, kita akan menjauhi benturan meskipun itu kecil. Gusi Anda sakit misalnya, kemungkinan Anda akan menghindari minum air dingin, karena itu akan sangat menyakitkan. Saat Anda bisulan, sentuhan sedikit saja anda sangat hindari, padahal biasanya juga tidak ada masalah.
Begitu juga dengan hati. Saat seseorang mengalami luka di hatinya, maka ia akan menghindari "benturan-benturan" meskipun itu ringan. Baginya, benturan yang ringan itu rasanya sangat menyakitkan. Meskipun toh bagi orang lain biasa saja.
Itulah yang dialami Bu S yang hingga usia 50 tahun masih belum menikah.
Ia bercerita bahwa ia selalu gagal dalam membina hubungan dengan laki-laki. Dari yang mulai ditinggal hingga Ibu S yang merasa tidak cocok dengan kepribadian calon pasangannya.
Pergolakan itu terjadi sekian lama, hingga tak terasa usianya sudah kepala lima.
Jika ditanya apakah dulu ia tidak ingin menikah? ia menjawab bahwa tidak ada masalah dengan keinginannya untuk menikah. Ia hanya merasa tidak nyaman jika menghadapi laki-laki yang tidak bisa memahami dirinya. Terlebih jika laki-laki tersebut sudah berbicara dengan nada tinggi, biasanya respon ibu S langsung menarik diri.
Setelah di telisik, ternyata Ibu S memiliki masalah dengan figur Ayah. Ayah ibu S dianggap telah membuat susah keluarga dengan pola asuhnya yang otoriter, bahkan kakaknya sampai meninggal waktu remaja karena diusir dari rumah. Keluarga jatuh miskin karena kecerobohan ayahnya dan ibunya hidup dengan penderitaan batin yang cukup panjang.
Hal ini yang membuat Ibu S kecil membenci Ayahnya. Saat Ayahnya membentak dirinya untuk belajar, ia langsung mengurung diri ke kamar dan malah dengan sengaja tidak mengerjakan PR nya.
Pola ini ternyata berlanjut saat ia menjalin hubungan dengan laki-laki. Saat pacarnya berkata dengan nada agak tinggi, Ibu S spontan mengintepretasikan bahwa pacarnya "jahat", "tidak sayang" dan hal sejenis itu. Respon Ibu S biasanya menarik diri, dan tidak seberapa lama hubungannya berakhir. Ini terjadi terus menerus.
Ibu S membasuh air matanya yang jatuh, setelah saya jelaskan mengenai beberapa orang yang perlu di maafkan dalam hidupnya.
Terkadang kita menganggap yang terjadi dalam hidup kita adalah takdir. Kita mengatakan bahwa Tuhan tidak memberi rejeki, tidak memberi jodoh. Pada kenyataannya Tuhan telah berkali-kali mendekatkan kita dengan rejeki dan jodoh yang kita minta dalam doa-doa kita. Tinggal kita, mau menjemputnya atau tidak...
Bagaimana menurut Anda?
Regard,
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog