Tuesday, 06 August 2024
Written by Admin Akademi Psikoterapi
Expertise by Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog
Lisa, seorang wanita berusia 32 tahun, merasa bingung dengan perasaannya terhadap pasangannya Tom. Meski sering diperlakukan kasar dan diabaikan, Lisa merasa sangat terikat dengan Tom dan kesulitan untuk meninggalkannya. Setiap kali Tom berbuat baik, Lisa merasa mendapatkan cinta yang selama ini ia harapkan, meskipun momen-momen tersebut hanya sesaat sebelum kekerasan dan manipulasi kembali terjadi. Lisa mulai mempertanyakan kenapa ia terus bertahan dalam hubungan yang jelas-jelas merugikannya.
Di sesi terapi, Lisa menceritakan siklus antara penyiksaan emosional dan fisik yang dialaminya, diikuti oleh fase di mana Tom berperilaku sangat baik, meminta maaf, dan berjanji untuk berubah. Saat mendengar cerita Lisa, saya mengenali pola yang sering disebut sebagai trauma bonding. Trauma bonding adalah hubungan emosional yang terbentuk sebagai akibat dari kekerasan yang berulang, di mana siklus penyiksaan dan rekonsiliasi menciptakan keterikatan yang kuat antara korban dan pelaku.
Trauma bonding sering kali disalah artikan sebagai cinta atau keterikatan emosional yang dalam. Namun, pada kenyataannya, ini adalah hasil dari mekanisme koping psikologis yang rumit. Ketika individu mengalami trauma berulang kali dari orang yang sama, otak mereka mulai mengasosiasikan momen-momen kebaikan dari pelaku sebagai bentuk cinta dan perhatian. Hal ini diperparah oleh ketergantungan emosional dan finansial yang sering dialami oleh korban.
Penelitian menunjukkan bahwa trauma bonding terjadi dalam banyak hubungan yang berisiko tinggi terhadap kekerasan. Studi menemukan bahwa korban yang mengalami siklus kekerasan dan rekonsiliasi memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk tetap berada dalam hubungan yang merusak.
Lebih lanjut, penelitian juga menemukan bahwa trauma bonding tidak hanya terjadi dalam konteks kekerasan fisik tetapi juga dalam hubungan yang melibatkan penyiksaan emosional dan psikologis. Mereka mengidentifikasi bahwa sekitar 30% dari individu yang mengalami pelecehan emosional yang berulang menunjukkan tanda-tanda trauma bonding. Data ini menggarisbawahi betapa sulitnya bagi korban untuk meninggalkan hubungan yang merusak, karena keterikatan emosional yang kuat ini.
Salah satu aspek penting dalam memahami trauma bonding adalah siklus penyiksaan dan rekonsiliasi. Pada fase penyiksaan, korban mengalami ketakutan, kecemasan, dan rasa tidak aman yang tinggi. Ketika pelaku kemudian berperilaku baik dan meminta maaf, korban merasakan kelegaan yang kemudian memperkuat ikatan emosional dengan pelaku. Siklus ini menciptakan pola ketergantungan emosional yang sangat sulit untuk diputus.
Trauma bonding juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti rendahnya harga diri, isolasi sosial, dan ketergantungan finansial. Korban yang merasa tidak berdaya dan tidak memiliki dukungan sosial yang kuat lebih rentan untuk mengembangkan ikatan trauma ini. Mereka mungkin merasa bahwa meninggalkan pelaku bukanlah pilihan yang realistis karena ketakutan akan masa depan yang tidak pasti dan kurangnya sumber daya.
Dalam terapi, penting untuk membantu klien mengenali pola trauma bonding ini. Dengan kesadaran, klien dapat mulai memahami bahwa perasaan keterikatan yang mereka alami bukanlah cinta sejati, melainkan hasil dari siklus penyiksaan dan rekonsiliasi. Terapi kognitif-behavioral sering kali digunakan untuk membantu klien mengubah pola pikir mereka dan membangun kembali harga diri serta kemandirian emosional mereka.
Langkah pertama dalam terapi adalah membantu klien menyadari siklus kekerasan dan rekonsiliasi yang mereka alami. Melalui diskusi dan refleksi, klien dapat mulai melihat pola ini dengan lebih jelas dan memahami bagaimana siklus ini mempengaruhi perasaan dan tindakan mereka. Dengan dukungan yang tepat, klien dapat mulai membangun strategi untuk mengatasi ketergantungan emosional dan merencanakan langkah-langkah untuk keluar dari hubungan yang merusak.
Penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial yang kuat sangat penting dalam membantu korban trauma bonding. Teman, keluarga, dan kelompok yang mendukung dapat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan korban untuk meninggalkan hubungan yang berbahaya. Dalam banyak kasus, keberadaan sistem dukungan yang kuat dapat membuat perbedaan besar dalam proses pemulihan.
Dalam penanganan trauma bonding, penting juga untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penyiksaan. Trauma yang dialami korban dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, pendekatan terapi harus mencakup strategi untuk mengatasi dampak jangka panjang ini, termasuk terapi trauma dan dukungan kesehatan mental yang berkelanjutan.
Trauma bonding adalah fenomena kompleks yang melibatkan keterikatan emosional antara korban dan pelaku kekerasan. Memahami dan mengenali pola ini sangat penting dalam membantu klien untuk keluar dari hubungan yang merusak. Dengan dukungan terapeutik yang tepat dan sistem dukungan yang kuat, korban dapat memutus siklus kekerasan dan membangun kembali kehidupan mereka dengan lebih sehat dan mandiri.
Regard,
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog