Friday, 16 August 2024
Written by Admin Akademi Psikoterapi
Expertise by Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) adalah gangguan mental yang kompleks, ditandai dengan pikiran obsesif dan perilaku kompulsif yang berulang. Pada individu dengan OCD, pikiran yang mengganggu (obsesi) menyebabkan kecemasan ekstrem, dan sebagai tanggapan, mereka melakukan tindakan berulang (kompulsi) untuk mengurangi kecemasan tersebut. Namun, yang menarik adalah bagaimana kondisi ini mempengaruhi otak seseorang dan bagaimana aktivitas saraf berperan dalam pembentukan serta pemeliharaan OCD.
Pada tingkat neurologis, OCD sering dikaitkan dengan disfungsi di sirkuit otak yang terlibat dalam pengaturan emosi dan perilaku berulang. Salah satu area utama yang terlibat adalah korteks orbitofrontal, bagian dari otak yang berfungsi dalam pengambilan keputusan dan penilaian konsekuensi. Studi pencitraan otak telah menunjukkan bahwa individu dengan OCD mengalami hiperaktivitas di area ini, yang mengarah pada over-respons terhadap pemicu kecemasan sehingga memperkuat obsesi yang mendasarinya.
Sirkuit lain yang terlibat adalah ganglia basalis, khususnya struktur yang dikenal sebagai striatum. Ganglia basalis berfungsi dalam pengaturan gerakan motorik dan perilaku berulang, serta pemrosesan motivasi. Pada orang dengan OCD, koneksi antara ganglia basalis dan korteks orbitofrontal tidak berfungsi secara optimal. Akibatnya, individu mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku kompulsif yang terus mereka lakukan meskipun menyadari bahwa tindakan tersebut tidak rasional. Penelitian menemukan bahwa pasien OCD menunjukkan peningkatan aktivitas metabolik di korteks orbitofrontal dan ganglia basalis, yang menjelaskan kecenderungan mereka untuk terjebak dalam siklus kompulsi.
Dalam studi yang menggunakan pencitraan PET (Positron Emission Tomography) menemukan bukti tambahan bahwa sirkuit antara korteks orbitofrontal, ganglia basalis, dan talamus sangat berpengaruh pada penderita OCD. Mereka menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah di area ini berkorelasi dengan keparahan gejala OCD. Data ini memperkuat gagasan bahwa OCD melibatkan pola komunikasi yang terganggu antara area otak yang biasanya membantu kita mengatur kecemasan dan perilaku.
OCD juga dikaitkan dengan disregulasi neurotransmitter, terutama serotonin dan dopamin. Serotonin, yang berperan penting dalam pengaturan suasana hati, kecemasan, dan perilaku berulang, seringkali berfungsi secara abnormal pada individu dengan OCD. Penelitian menemukan bahwa penggunaan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), obat yang meningkatkan ketersediaan serotonin di otak, secara signifikan dapat mengurangi gejala OCD pada banyak pasien. Ini menegaskan peran penting serotonin dalam kondisi ini.
Selain serotonin, dopamin juga memainkan peran penting dalam OCD. Dopamin berperan dalam pengaturan gerakan motorik dan perilaku yang dimotivasi oleh hadiah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu dengan OCD mungkin mengalami peningkatan kadar dopamin di beberapa bagian otak, terutama di area yang terkait dengan perilaku motorik dan kebiasaan berulang. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa mereka cenderung mengulangi tindakan yang sama secara kompulsif, bahkan ketika perilaku tersebut tidak lagi relevan atau membantu.
Ahli neuropsikologi terkemuka seperti Dr. Jeffrey Schwartz berpendapat bahwa OCD melibatkan mekanisme "stuck gear" dalam otak. Dalam bukunya "Brain Lock", Schwartz menjelaskan bahwa penderita OCD cenderung terjebak dalam pola perilaku yang berulang karena ketidakmampuan otak untuk "berpindah" dari satu pikiran ke pikiran lainnya. Ini mirip dengan transmisi kendaraan yang macet di satu gigi, membuatnya sulit bagi penderita OCD untuk menghentikan perilaku kompulsif mereka meskipun menyadari bahwa tindakan tersebut tidak diperlukan.
Secara anatomi, perubahan struktural dalam otak juga telah dilaporkan pada pasien dengan OCD. Studi neuroimaging telah mengidentifikasi penurunan volume di korteks cingulate anterior dan struktur lain yang terlibat dalam regulasi emosi. Korteks cingulate anterior terlibat dalam memediasi kesadaran kesalahan, dan pada pasien OCD, area ini menunjukkan hiperaktivitas yang berkontribusi pada rasa tanggung jawab berlebihan yang seringkali memicu perilaku kompulsif. Perubahan volume ini menunjukkan bahwa OCD dapat memiliki dampak jangka panjang pada anatomi otak jika tidak diobati.
Selain area otak yang telah disebutkan, talamus juga memainkan peran penting dalam gangguan ini. Thalamus adalah struktur yang berfungsi sebagai pusat pemrosesan informasi sensorik dan mengarahkan respons tubuh. Pada OCD, talamus cenderung lebih aktif, memperkuat sirkuit yang mendorong perilaku obsesif dan kompulsif. Ketika seseorang dengan OCD merasakan ancaman dari pikiran obsesif mereka, talamus membantu memicu perilaku kompulsif sebagai respons untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan meskipun tidak ada bahaya nyata.
Peneliti juga mencatat bahwa OCD dapat dikaitkan dengan aktivitas abnormal di jaringan default mode network (DMN), yaitu jaringan otak yang aktif saat kita tidak fokus pada tugas tertentu. Pada orang dengan OCD, DMN tampak terganggu yang menyebabkan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan dan berulang terus muncul. Studi menunjukkan bahwa pasien OCD mengalami peningkatan konektivitas di DMN, yang mungkin menjelaskan mengapa mereka sering kali tidak dapat "melepaskan" pikiran obsesif mereka.
Penelitian genetik juga menunjukkan bahwa ada komponen herediter dalam OCD. Studi kembar dan keluarga telah menemukan bahwa risiko seseorang mengalami OCD meningkat jika ada anggota keluarga dengan kondisi ini. Namun, meskipun ada faktor genetik, OCD juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti stres dan trauma yang dapat memicu atau memperburuk gejala pada individu yang sudah rentan.
Teori kognitif juga menawarkan penjelasan tentang mekanisme psikologis OCD. Menurut model ini, penderita OCD memiliki keyakinan berlebihan tentang pentingnya dan bahaya pikiran mereka. Mereka cenderung melihat pikiran obsesif sebagai ancaman yang nyata, meskipun orang lain mungkin hanya mengabaikannya. Dengan demikian, perilaku kompulsif yang mereka lakukan bertujuan untuk meredakan kecemasan, meskipun seringkali hanya sementara.
Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah salah satu pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi OCD. CBT bekerja dengan mengajarkan individu untuk mengidentifikasi dan menantang pikiran obsesif mereka, serta menghentikan respons kompulsif yang tidak diperlukan. Pendekatan ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa perubahan dalam cara berpikir dan perilaku dapat mengubah aktivitas otak yang terkait dengan OCD. Schwartz dalam penelitian tindak lanjutnya menunjukkan bahwa pasien yang berhasil mengatasi OCD melalui CBT menunjukkan perubahan signifikan dalam aktivitas korteks orbitofrontal dan ganglia basalis yang mendukung hipotesis neuroplastisitas otak.
OCD bukan sekadar gangguan perilaku, ini adalah kondisi yang melibatkan berbagai aspek neurologis yang kompleks. Hiperaktivitas di sirkuit otak tertentu, disregulasi neurotransmitter, dan perubahan struktural dalam otak semuanya berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan gejala OCD. Meskipun demikian, dengan intervensi yang tepat, seperti terapi perilaku kognitif dan pengobatan yang memodulasi neurotransmitter, banyak pasien dapat mengatasi gejala dan mencapai perbaikan yang signifikan. Memahami perubahan yang terjadi di otak seseorang dengan OCD memberikan wawasan penting dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dan membantu mereka mengendalikan gangguan ini.
Regard,
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog